Jumat, 27 Agustus 2010

Production Planning and Control

Material Requirements Planning

Production system models of learning and development

Kanban just-in-time at Toyota: management begins at the workplace

Toyota production system: beyond large-scale production

Implementing six sigma: smarter solutions using statistical methods

Encyclopedia of production and manufacturing management

Production Planning and Inventory Control

Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time)

Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi atau sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat dibutuhkan oleh konsumen.

Konsep just in time adalah suatu konsep di mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari pemasok atau suplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan biaya persediaan barang / penyimpanan barang / stocking cost.

Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerja sama dengan komponen-komponen lainnya

Jus In Time (JIT) adalah filofosi manufakturing untuk menghilangkan pemborosan waktu dalam total prosesnya mulai dari proses pembelian sampai proses distribusi. Fujio Cho dari Toyota mendefinisikan pemborosan (waste) sebagai: Segala sesuatu yang berlebih, di luar kebutuhan minimum atas peralatan, bahan, komponen, tempat, dan waktu kerja yang mutlak diperlukan untuk proses nilai tambah suatu produk. Kemudian diperoleh rumusan yang lebih sederhana pengertian pemborosan: Kalau sesuatu tidak memberi nilai tambah itulah pemborosan

7 (tujuh) jenis pemborosan disebabkan karena :

Over produksi
Waktu menunggu
Transportasi
Pemrosesan
Tingkat persediaan barang
Gerak
Cacat produksi

B. Konsep Dasar Just In Time

Konsep dasar JIT adalah sistem produksi Toyota, yaitu suatu metode untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat adanya gangguan dan perubahan permintaan, dengan cara membuat semua proses dapat menghasilkan produk yang diperlukan, pada waktu yang diperlukan dan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
Dalam sistem pengendalian produksi yang biasa, syarat di atas dipenuhi dengan mengeluarkan berbagai jadwal produksi pada semua proses, baik itu pada proses manufaktur suku cadang maupun pada lini rakit akhir. Proses manufaktur suku cadang menghasilkan suku cadang yang sesuai dengan jadwal, dengan menggunakan sistem dorong, artinya proses sebelumnya memasok suku cadang pada proses berikutnya

Terdapat empat konsep pokok yang harus dipenuhi dalam melaksanakan Just In Time (JIT):

Produksi Just In Time (JIT), adalah memproduksi apa yang dibutuhkan hanya pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diperlukan.
Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis yang tidak memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya.
Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah pekerja sesuai dengan fluktuasi permintaan.
Berpikir kreatif dan menampung saran-saran karyawan

Guna mencapai empat konsep ini maka diterapkan sistem dan metode sebagai berikut :

Sistem kanban untuk mempertahankan produksi Just In Time (JIT).
Metode pelancaran produksi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan.
Penyingkatan waktu penyiapan untuk mengurangi waktu pesanan produksi.
Tata letak proses dan pekerja fungsi ganda untuk konsep tenaga kerja yang fleksibel.
Aktifitas perbaikan lewat kelompok kecil dan sistem saran untuk meningkatkan moril tenaga kerja.
Sistem manajemen fungsional untuk mempromosikan pengendalian mutu ke seluruh bagian perusahaan

C. Elemen-elemen Just In Time

Pengurangan waktu set up
Aliran produksi lancar (layout)
Produksi tanpa kerusakan mesin
Produksi tanpa cacat
Peranan operator
Hubungan yang harmonis dengan pemasok
Penjadwalan produksi stabil dan terkendali
Sistem Kanban

1. Pengurangan Waktu set up dan ukuran lot

Pemilahan kegiatan set up
Kegiatan set up bisa dipilah menjadi:
1) Kegiatan eksternal set up: persiapan cetakan & alat bantu, pemindahan cetakan, dan lain-lain.
2) Kegiatan internal set up: bongkar pasang pada mesin, penyetelan mesin, dan lain-lain.

b. Langkah mengurangi waktu set up:

Memisahkan pekerjaan set up yang harus diselesaikan selagi mesin berhenti (internal set up) terhadap pekerjaan yang dapat dikerjakan selagi mesin beroperasi (eksternal set up).
Mengurangi internal set up dengan mengerjakan lebih banyak eksternal set up, contohnya: persiapan cetakan, pemindahan cetakan, peralatan, dan lain-lain.
Mengurangi internal set up dengan mengurangi kegiatan penyesuaian (adjustment), menyederhanakan alat bantu dan kegiatan bongkar pasang, menambah personil pembantu, dan lain-lain.
Mengurangi total waktu untuk seluruh pekerjaan set up, baik internal maupun eksternal.

Contoh:

Jika set up mesin lamanya 1 jam (60 menit), bisa disingkat menjadi 6 menit. Andaikata lot yang harus dibuat banyaknya 3000 buah yang setiap unitnya memakan waktu 1 menit, maka waktu produksinya = 1 jam + (3000 x 1 menit) = 3060 menit = 51 jam.
Setelah waktu set up dikurangi menjadi 6 menit, maka waktu produksinya menjadi = 6 menit + (3000 x 1 menit) = 3006 menit.
Namun, dengan waktu yang sama (3060 menit) dapat dibuat lot sebanyak 300 buah dari berbagai jenis, yang diulang sebanyak 10 kali, yaitu: {6 menit + (300 x 1 menit)} x 10 = 3060 menit = 51 jam.
Hal ini berarti sistem produksi lebih tanggap terhadap perubahan.

2. Aliran produksi lancar (layout)

Pemborosan yang berkaitan dengan process Layout
Pada layout proses ditemukan berbagai pemborosan, yaitu:
Kesulitan koordinasi dan jadwal produksi
Pemborosan transportasi dan material handling
Akumulasi persediaan dalam proses
Penanganan material berganda bahkan beberapa kali
Lead time produksi yang sangat panjang
Kesulitan mengenali penyebab cacat produksi
Arus material dan prosedur kerja sulit dibakukan
Sulitnya perbaikan kerja karena tidak ada standardisasi

c. Aliran Produksi

Proses layout. Waktu simpan komponen lama, tingkat persediaan tinggi, dan prioritas kerja sulit ditentukan.
Ketidakseimbangan jalur. Jika proses tidak terkoordinir maka komponen akan terakumulasi sebagai persediaan, dan pengaturan kerja akan sulit dilakukan.
Set up atau penggantian alat yang makan waktu. Persediaan komponen akan menumpuk, sementara proses berikutnya akan tertunda.
Kerusakan dan gangguan mesin. Jalur akan berhenti dan akan terjadi penumpukan barang dalam proses.
Masalah kualitas. Kalau cacat produksi ditemukan, maka proses selanjutnya akan berhenti dan persediaan akan menumpuk.
Absensi. Jika seorang operator ada yang berhalangan kerja dan penggantinya sulit ditemukan, maka jalur produksi akan terhenti.

3. Produksi tanpa kerusakan mesin

a. Preventive Maintenance
1) Pendekatan untuk mencegah kerusakan dan gangguan mesin dapat dilihat pada gambar 3.
2) Faktor penyebab gangguan mesin dapat dilihat pada gambar 4.
3) Gangguan mesin dan penanggulangannya dapat dilihat pada gambar 5.

b. Total Productive Maintenance

Belajar bagaimana melakukan pemeliharaan rutin mesin, misalnya: pelumasan, pengencangan baut, dan sebagainya. Guna mencegah penurunan daya kerja mesin.
Melaksanakan petunjuk penggunaan mesin secara wajar.
Mengembangkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap tanda-tanda awal penurunan kemampuan mesin, dengan melakukan perawatan yang mudah, pembersihan, penyetelan, dan lain-lain.

Sementara karyawan bagian pemeliharaan, bisa melakukan antara lain

1) Membantu operator produksi mempelajari kegiatan perawatan yang dapat dilakukan sendiri.
2) Memperbaiki penurunan kemampuan peralatan melalui inspeksi berkala, bongkar pasang, dan penyesuaian atau penyetelan kembali.
3) Menentukan kelemahan dalam rancang bangun mesin, merencanakan dan melakukan tindakan perbaikan, menentukan kondisi wajar operasi mesin.
4) Membantu operator menaikan kemampuan perawatan, dan lain-lain.


Sumber :
http://supardiyo.wordpress.com/2009/06/21/sistem-produksi-tepat-waktu-just-in-time/
21 Juni 2009

Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)

I. Sistem Produksi Barat

Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasaldari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain:
· melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
· melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan, penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
· terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
· terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai penyimpanpersediaan, dll.

Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia.

Hal ini memungkinkan karenanegara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalammenggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.

Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkankeunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya.
Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.


II. Sistem Produksi Jepang

Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara lain adalah kemubadziran dalam waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time),mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yangtidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang,banyak-nya karyawan yang absen, dsb. Kemubadziran dalam material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps,chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll. Kemubadziran dalam manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor,banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas. Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :

- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.

Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman(delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisadicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu melakukan pengendalian kuantitas dengan baik. Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasiyang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepangdikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan. Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas).

Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika parapekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yangtidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya. Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksidikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan denganbaik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :


a. Otonomi (kewenangan)
Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggung jawabnya.

b. Flexibility
Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen. Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnyablok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.

c. Creativity
Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yanglainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.


Sumber :
Irfan Riyadi
http://irfanriyadi83.blogspot.com/2009/05/mengenal-sistem-produksi-tepat-waktu.html
18 Mei 2009

Konsep Dasar Sistem Produksi


Sistem PPC


1. Keputusan utama

a.Penjadwalan jobs, alokasi kebutuhan material dan penerimaan order

b.Alokasi kebutuhan & kapasitas fasilitas


2. Tujuan utama:

a.Maksimasi pelayanan konsumen (QCD)

b.Minimasi investasi & inventory

c.Maksimasi efisiensi dan efektivitas penggunan fasilitas


3. Fungsi yang terlibat:

a.Perencanaan produksi

b.Perencanaan persediaan

c.Perencanaan kapasitas

d.Pengesahan produksi dan pengadaan

e.Order produksi dan jadwal produksi

f.Pengendalian

g.Penyimpanan dan pergerakan material



Sistem Fisik

1.Tenaga Kerja

2.Mesin

3.Peralatan

4.Lingkungan kerja



Performansi Sistem PPC

1.Tingkat kemungkinan dilaksanakan

2.Tingkat kemudahan dalam pengendalian

3.Tingkat keseimbangan antar stasiun kerja



Performansi Sistem Fisik

1.Pencapaian target produksi

2.Kualitas produksi

3.Ongkos produksi

4.Kepuasan Kerja



Komponen2 Performansi Sistem Fisik:

1. Waktu kerja yang tersedia

jumlah orang atau mesin x jam kerja/shift x jumlah shift/hari x hari kerja/periode

2. Utilisasi

3. Efisiensi =

4. Waktu set up (setup time)

5. Waktu proses (processing time/run time)

6. Waktu antrian (queue time) = saat mulai proses – saat produk tiba

7. Waktu menunggu (waiting/idle time)

saat mulai proses produk ke-n – saat selesai proses produk ke-(n-1)

8. Waktu bergerak (move time)



Strategi Respon Terhadap Permintaan

1. Design-to-Order

2. Make-to-Order

3. Assemble-to-Order

4. Make-to-Stock

5. Make-to-Demand



Strategi Desain Proses Manufakturing

1.Job Shop

2.Project (No Product Flow)

3.Line Flow

4.Flexible Manufacturing System (FMS)

5.Agile Manufacturing Sytem (AMS)



Strategi Sistem PPC


1. Project Management (PM)

a . Penyusunan dan pendefinisian proyek

b.Perencanaan Proyek

c.Pelaksanaan Proyek

d.Penyelesaian dan Evaluasi Proyek


2. Manufacturing Resources Planning

Sistem informasi terintegrasi diantara berbagai aktivitas produksi dan area fungsional lainnya


3. Just-In-Time (JIT) àfilosofi

Memproduksi produk yg dibutuhkan, pada saat dibutuhkan, dalam jumlah yang dibutuhkan, pada tingkat kualitas prima, dengan cara waste elimination dan continous improvement


4. Continous Process Control

Hirarki fungsional:

a. Pengukuran Proses & Pengendalian I/O

b. Pengendalian Proses Langsung (aliran, temperatur&variabel lain)

c. Pemantauan Proses

d. Manajemen Proses


5. Flexible Control System ( FMS)


6. Agile Control System(ACS): perpaduan antara JIT-MRP II


Sumber :
Agus Wibisono
http://wibisono.blog.uns.ac.id/tag/sistem-produksi/
26 Oktober 2008

Material Requirment Planning

Material Requirement Planning (MRP) dapat didefinisikan sebagai suatu teknik atau set prosedur yang sistematis dalam penentuan kuantitas serta waktu dalam proses pengendalian kebutuhan bahan terhadap komponen-komponen permintaan yang saling bergantungan. (Dependent demand items). (Gaspersz, 1998).



Prasyarat dan Asumsi dari MRP

tujuan dari MRP untuk menghasilkan informasi persediaan yang mampu digunakan untuk mendukung melakukan tindakan secara tepat dalam melakukan produksi. Agar MRP dapat berfungsi dan dioperasionalisasikan dengan efektif ada beberapa persyaratan dan asumsi yang harus dipenuhi. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah : (Gaspersz, 1998)

a.Tersedianya Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule), yaitu suatu rencana produksi yang menetapkan jumlah serta waktu suatu produk akhir harus tersedia sesuai dengan jadwal yang harus diproduksi. Jadwal Induk Produksi ini biasanya diperoleh dari hasil peramalan kebutuhan melalui tahapan perhitungan perencanaan produksi yang baik, serta jadwal pemesanan produk dari pihak konsumen.

b.Setiap item persediaan harus mempunyai identifikasi yang khusus. Hal ini disebabkan karena biasanya MRP bekerja secara komputerisasi dimana jumlah komponen yang harus ditangani sangat banyak, maka pengklasifikasian atas bahan, bagian atas bahan, bagian komponen, perakitan setengah jadi dan produk akhir haruslah terdapat perbedaan yang jelas antara satu dengan yang lainnya.

c.Tersedianyastruktur produk pada saat perencanaan. Dalam hal ini tidak diperlukan struktur produk yang memuat semua item yang terlibat dalam pembuatan suatu produk apabila itemnya sangat banyak dan proses pembuatannya sangat komplek. Walaupun demikian, yang penting struktur produk harus mampu menggambarkan secara gamblang langkah-langkah suatu produk untuk dibuat, sejak dari bahan baku sampai menjadi produk jadi.

d.tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item yang menyatakan status persediaan sekarang dan yang akan datang.



Tujuan MRP

Suatu sistem MRP pada dasarnya bertujuan untuk merancang suatu sistem yang mampu menghasilkan informasi untuk mendukung aksi yang tepat baik berupa pembatalan pesanan, pesan ulang, atau penjadwalan ulang. Aksi ini sekaligus merupakan suatu pegangan untuk melakukan pembelian dan/ atau produksi.

Ada 4 macam yang menjadi ciri utama MRP, yaitu: (Nasution,1992)

a. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat, kapan suatu pekerjaan akan selesai (material harus tersedia) untuk memenuhi permintaan produk yang dijadwalkan berdasarkan MPS yang direncanakan.

b. Menentukan kebutuhan minimal setiap item, dengan menentukan secara tepat sistem penjadwalan.

c. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan, dengan memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan suatu pesanan harus dilakukan.

d. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang dikehendaki, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melaksanakan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Seandainya penjadwalan ulang ini masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan terhadap suatu pesanan harus dilakukan.


Input MRP

Ada 3 Input yangdibutuhkan dalam konsep MRPyaitu (Nasution,1992):

·Jadwal Induk Produksi (Master production schedule)

Merupakan suatu rencana produksi yang menggambarkan hubungan antara kuantitas setiap jenis produk akhir yang diinginkan dengan waktu penyediaannya

·Struktur Produk (Product structure Record & Bill of Material)

Merupakan kaitan antara produk dengan komponen penyusunnya. Informasi yang dilengkapi untuk setiap komponen ini meliputi :

· Jenis komponen

· Jumlah yang dibutuhkan

· Tingkat penyusunannya

Selain ini ada juga masukan tambahan seperti :

- Pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan

- Peramalan atas item yang bersifat tidak bergantungan.

·Status Persediaan (Inventory Master File atau Inventory Status Record)

Menggambarkan keadaan dari setiap komponen atau material yang ada dalam persediaan, yang berkaitan dengan :

· Jumlah persediaan yang dimiliki pada setiap periode (on hand inventory )

· Jumlah barang dipesan dan kapan akan datang (on order Inventory )

· Waktu ancang – ancang ( lead time ) dari setiap bahan.

Status persediaan ini harus diketahui untuk setiap bahan atau item dan diperbaharui setiap terjadi perubahan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam perencanaan.



Proses MRP

Langkah - langkah dasar dalam penyusunan ProsesMRP (Nasution,1992)

Netting (kebutuhan bersih) : Proses perhitungan kebutuhan bersih untuk setiap periode selama horison perencanaan.

Lotting (kuantitas pesanan) : Proses penentuan besarnya ukuran jumlah pesanan yang optimal untuk sebuah item, berdasarkan kebutuhan bersih yang dihasilkan.

Offsetting (rencana pemesanan): Bertujuan untuk menentukan kuantitas pesanan yang dihasilkan proses lotting. Penentuan rencana saat pemesanan ini diperoleh dengan cara mengurangkan saat kebutuhan bersih yang harus tersedia dengan waktu ancang-ancang (Lead Time).

Exploding: Merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat (level) yang lebih bawah dalam suatu struktur produk, serta didasarkan atas rencana pemesanan.



Output MRP

Keluaran MRP sekaligus juga mencerminkan kemampuan dan ciri dari MRP, yaitu : (Gaspersz, 1998)

a. Planned Order Schedule (Jadwal Pesanan Terencana) adalah penentuan jumlah kebutuhan material serta waktu pemesanannya untuk masa yang akan datang.

b. Order Release Report (Laporan Pengeluaran Pesanan) berguna bagi pembeli yang akan digunakan untuk bernegosiasi dengan pemasok, dan berguna juga bagi manejer manufaktur, yang akan digunakan untuk mengontrol proses produksi.

c. Changes to planning Orders (Perubahan terhadap pesanan yang telah direncanakan) adalah yang merefleksikan pembatalan pesanan, pengurangan pesanan, pengubahan jumlah pesanan.

d. Performance Report (Laporan Penampilan) suatu tampilan yang menunjukkan sejauh mana sistem bekerja, kaitannya dengan kekosongan stock dan ukuran yang lain. Terlihat pada gambar Sistem MRP.


Sumber :
http://wibisono.blog.uns.ac.id/tag/sistem-produksi/
29 December, 2008

Contoh Kasus Sistem Produksi JIT (Just-in-Time)

he 100 Yen Sushi House bukanlah sebuah restoran biasa. Restoran ini memiliki produktivitas yang sangat tinggi di Jepang. Saat kita memasuki restoran tersebut, kita akan disambut dengan kata-kata “iratasai”, sebuah ucapan selamat datang dari siapapun yang bekerja dalam toko tersebut – baik yang memasak, pelayan, pemilik, dan anak-anak pemiliknya. Rumah ini memiliki ciri kas berbentuk elipsoid yang melayani daerah di pertengahan ruangan, dimana tiga atau empat koki yang sibuk mempersiapkan sushi. Sekitar 30 tempat duduk mengelilingi daerah penyajian. Kita duduk di konter dan langsung disuguhi segelas “misoshiru”, yang merupakan sebuah sop pasta kacang, sepasang sumpit, segelas the hijau, sebuah piring kecil untuk membuat saus, dan sebuah lempeng china untuk memegang sumpit. Sejauh ini, pelayanan ini adalah pelayanan rata-rata untuk sushi house. Selanjutnya, ditemukan hal-hal yang khusus. Ada sebuah pengangkut barang yang selalu mengelilingi area pelayanan yang berbentuk elipsoid. Seperti sebuah boneka yang memiliki rel untuk berjalan. Pada pengangkut tersebut terdapat sebuah kereta piring sushi. Anda bisa menemukan jenis sushi apapun yang anda inginkan – mulai dari jenis rumput-laut atau octupus yang paling murah sampai hidangan salmon atau udang mentah yang mahal. Akan tetapi, harganya semua sama, yakni 100 yen per piring. Jika diperiksa lebih dekat, ditemukan bahwa porsi rumput laut yang murah memiliki 4 potongan, sedangkan yang lebih mahal memiliki dua potongan.

Selanjutnya ada seorang pria membawa 8 piring dengan rapi. Ketika dia akan pergi, kasir mengamatinya dan berkatan, “800 yen”. Kasir tidak memiliki kas register, karena dia hanya menghitung jumlah piring kemudian mengalikannya dengan 100. Pada saat pelanggan pergi, terdengar ucapan “Arigato Gosaimas” (terima kasih), dari semua pekerja.

Operasi harian pemilik didasarkan pada analisis informasi secara cermat. Pemiliki memiliki ringkasan informasi permintaan yang lengkap tentang tipe-tipe piring sushi yang berbeda, sehingga dia mengetahui secara pasti berapa banyak dari masing-masing piring sushi yang harus dipersiapkan dan kapan. Lebih lanjut, operasi seluruhnya diasaran pada prinsip produksi berulang dengan just-in-time yang sesuai dan sistem kontrol kualitas. Sebagai contoh, toko tersebut memiliki kapasitas refrigerator yang sangat terbatas (kita dapat melihat beberapa ikan atau octopus dalam wadah gelas di depan konter). Sehingga, toko ini menggunakan sistem kontrol inventaris just-in-time. Ketimbang meningkatkan kapasitas refrigeratordengan membeli sistem-sistem refrigerator baru, perusahaan bekerjasama dengan penjaja ikan untuk mengirim ikan segar beberapa kali dalam sehari, sehingga material tiba tepat ketika akan digunakan untuk membuat sushi. Dengan demikian, biaya inventarisnya minimal.

Dalam sistem operasi just-in-time, prinsip stok aman tidak terlalu diperhitungkan. Dengan kata lain, stok aman akan dihilangakan secara perlahan, untuk masalah-masalah tidak teratasi dan kemungkinan solusinya. Ruang lantai yang tersedia adalah untuk pra pekerja dan perlengkapan yang diperlukan tapi tidak untuk menyimpan inventaris. Di perusahaan 100 Yen Sushi House, para pekerja dan pelengkapannya diposisikan begitu dekat sehingga pembuatan sushi dilakukan dari tangan ke tangan dan bukan sebagai operasi independen, Tidak adanya dinding-dinding invetaris memungkinkan para pemilik dan pekerja untuk terlibat dalam operasi total,, mulai dari menyambut pelanggan sampai menyediakan apa yang dipesan. Tugas mereka sangat saling terkait dan setiap orang akan bekerja sama dalam mengatasi sebuah masalah agar tidak menjadi masalah besar dalam proses kerja.

The 100 Yen Sushi House merupakan sebuah operasi intensif-pekerja, yang paling banyak didasarkan pada kesederhanaan, dan akal sehat ketimbang teknologi tinggi, sebaliknya dengan persepsi orang-orang Amerika. Penulis begitu terkesan. Setelah penulis menghabiskan piring ke-lima, saya melihat piring sushi octopus berputar untuk yang ketigapuluh kalinya. Mungkin gambaran umum dari sistem ini telah diketahui. Sehngga penulis menanyakan kepaa pemilik bagaimana cara merawat masalah kebersihan ketika piring sushi berputar sepanjang hari. Dia tersenyum dan berkata “Iyya pak, kami tidak pernah membiarkan piring-piring sushi kami tidak terpakai lebih dari 30 menit”. Kemudian dia menggaruk kepala dan mengatakan, “Jika salah satu dari empat karyawan kami istirahat, dia bisa mengambil piring yang tidak terjual tersebut dan memakannya atau membuangnya. Kami sangat serius tentang masalah kualitas sushi kami.”

The 100 Yen Sushi Huose merupakan sebuah mikrokosmos dari sifat-sifat yang mencerminkan pendekatan manajemen produksi yang paling signifikan pada masa pasca Perang Dunia II, yaitu produksi just-in-time (JIT). Dikembangkan oleh orang Jepang, pendekatan ini mengintegrasikan lima P dari OM untuk merampingkan produksi barang-barang berkualitas tinggi dan pelayanannya. Seperti TQM, hampir setiap organisasi industri modern telah menggunakan sekurang-kurangnya beberapa elemen JIT dalam desainnya.

Bab ini terkait dengan logika JIT. Bab ini juga merinci pendekatan-pendekatan terhadap implementasi JIT dan aplikasinya JIT dalam organisasi jasa. Sebuah versi klasik dari Kenneth A. Wantuck menjelaskan elemen-elemen JIT sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Jepang utnuk meningkatkan produktivitas.


Logika JIT

JIT (Just-in-Time) merupakan sekumpulan aktivitas terpadu untuk mencapai produksi bervolume tinggi dengan menggunakan inventaris bahan baku yang minimal, kerja dalam proses, dan barang jadi. Bagian-bagian produk tiba di stasiun kerja selanjutnya 'tepat waku” dan diselesaikan serta berpindah dalam operasi dengan cepat. Just-in-time juga didasarkan pada logika bahwa tidak ada yang akan dihasilkan sebelum diperlukan. Exhibit 6.1 mengilustrasikan proses ini. Kebutuhan dilahirkan oleh produk yang diminta oleh para penggunanya. Ketika sebuah item dijual, meurut teori, maka pasar akan menarik sebuah pengganti dari posisi terakhir dalam sistem – perakitan akhir dalam hal ini. Ini memicu sebuah order ke saluran produksi pabrik dimana seorang pekerja kemudian menarik unit lain dari sebuah stasiun hulu dalam aliran utunuk mengganti unit yang diambil.


Sumber :
http://www.topreference.co.tv/2010/04/contoh-kasus-sistem-produksi-jit-just.html
12 April 2010

Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)

I. Sistem Produksi Barat

Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang
berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal
sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini
antara lain:

* melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,
* melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan
kebutuhan bahan,penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.
* terdapatnya departemen pengendalian kualitas,
* terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai
penyimpanpersediaan, dll.


Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur
probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem
produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana
mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini
memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki
resourcess yang cukup banyak.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi
industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang
tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa
hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya
industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di
Jepang justru mulai muncul.

Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan
keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai
merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui
teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an
Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun
Amerika.


II. Sistem Produksi Jepang

Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu
(Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT)
adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk
kemubadziran antara lain adalah

Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle
time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak
efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material,
lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck,
terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.

Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps,
chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau
material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang
usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.

Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor,
banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping
dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam
koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang
tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan
pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut
kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.

Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai
berikut :

- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan.

- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan.

- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.

Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi
produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan
Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan
utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan
secara terpadu, yaitu Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.

Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem
informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut
di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan
pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh
suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat
dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material
sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.

Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah
TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi
konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada
departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality
Assurance (jaminan kualitas).
Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para
pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil
produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak
menyusahkan pekerja lainnya.

Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi
dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan
dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine,
Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya
sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni
ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa
memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3
cara, yaitu :

a. Otonomi (kewenangan).

Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka
perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai
dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.

b. Flexibility

Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain
diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan
(boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya
jika karyawan yang ber-sangkutan absen.

Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi
pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya
dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan
didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan
kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul
hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi
karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya
masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara
karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.

c. Creativity

Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki
setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul
kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu
adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug,
brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu
Demokrasi dalam sistem produksi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada
ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena
didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung
Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk
disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.


Sumber :
Mohammad Syarwani
http://www.erpweaver.com/index.php?option=com_content&view=article&id=69:mengenal-sistem-produksi-tepat-waktu-just-in-time-system&catid=1:latest&Itemid=2